Kamis, 23 Mei 2013

VISUM DAN OTOPSI




V I S U M DAN OTOPSI

VISUM ET REPERTUM

Visum berarti melihat dan repertum berarti melaporkan, dengan demikian visum et repertum berarti suatu kegiatan yang dilakukan oleh seorang dokter dalam rangka melihat dan melaporkan sebuah barang bukti atas permintaan penyidik atau penyidik pembantu terhadap pemeriksaan luka luar saja.

OTOPSI

OTOPSI, berarti suatu kegiatan yang dilakukan oleh seorang dokter dalam rangka melihat dan melaporkan sebuah barang bukti atas permintaan penyidik atau penyidik pembantu terhadap pemeriksaan luar dan dalam.

YANG  MENGAJUKAN PERMINTAAN VISUM DAN OTOPSI

Keabsahan Otopsi dan Visum et repertum sebagai alat bukti surat harus atas permintaan Penyidik atau penyidik pembantu sebagaimana diatur dalam KUHAP pasal 187 butir (c). selain penyidik, dokter tidak berwenang memberikan hasil pemeriksaan Visum atau Otopsi kepada Kuasa keluarga, keluarga atau pihak manapun. Para pihak bisa mendapatkan salinan hasil Visum atau Otopsi dari Pihak Penyidi atau Pengadilan.


NILAI PEMBUKTIANNVISUM DAN OTOPSI

Nilai pembuktian Visum dan Otopsi tergantung pada siapa yang mengeluarkan Visum atau Otopsi tersebut. Seharusnya yang mengeluarkan Visum atau Otopsi adalah dokter ahli forensik supaya keterangannya dapat dinilai sebagai keterangan ahli dan menjadi bukti yang sempurna. Jika yang mengeluarkan dokter umum atau dkter gigi maka nilai pembuktiannya hanya sebatas bukti petunjuk.

Pasal 133 KUHAP menjelaskan, penyidik berwenang untuk mengajukan permintaan keterangan ahli kepada ahli kedokteran kehakiman atau dokter atau ahli lainnya. Dengan demikian, selain dokter ahli forensik misal dokter umum dan gigi bisa mengeluarkan Visum. 

Penjelasan Pasal 133 KUHAP sangat jelas, Visum yang diterangkan dokter forensik bernilai sebagai keterangan ahli, sedangkan yang dikeluargan dokter bukan spesialis forensik disebut keterangan. Pedoman Pelaksanaan KUHAP dalam Keputusan Menteri Kehakiman R.I. No.M.01.PW.07.03 Tahun 1982, menjelaskan lebih rinci tentang nilai pembuktian keduanya, yaitu keterangan yang dibuat oleh dokter sepesialis forensik bernilai keterangan ahli, sedangkan dokter bukan ahli merupakan alat bukti petunjuk.

Sumber:

KUHAP
Berbagai sumber lain

Rabu, 08 Mei 2013

SEX BISA SEBABKAN CERAI



SEX PENYEBAB CERAI

Dalam al Quran, Allah berfirman:

“Wa ‘asyiruuhunna bil ma’ruf……”, berarti pergaulilah istrimu dengan baik, laihir maupun batin.


Ayat ini menetapkan hukum wajib bagi suami untuk memenuhi kebutuhan lahir maupun batin istrinya. Jika ada pelanggaran terhadap pemenuhan kebutuhan lahir dan batin atau kebutuhan lahir atau kebutuhan batin saja dan istri tidak ridho terhadap perbuatan suaminya tersebut, lalu istrinya mengadukan peristiwa tersebut menjadi alasan untuk mengajukan gugatan cerai maka Pengadilan Agama tempat istri mengajukan gugatan cerai tersebut haruslah mengabulkan gugatan istri tersebut.


Kenapa Majelis Hakim harus mengabulkan gugatan istri tersebut?

Dalam ijab qabul, suami sudah membuat perjanjian pranikah dengan sebutan “sighot taklik” yang berisi janji suami akan menafkahi lahir batin istrinya. Jika dalama masa 3 bulan suami tidak menafkahi istrinya, maka kembali ke istrinya apakah masih menerima keadaan suaminya tersebut atau sebaliknya tidak menerima keadaan dimaksud. Kesabaran istri tentu saja diharapkan dengan harapan dengan doa sang istri, sang suami dapat mendapatkan pekerjaan dan penghidupan yang lebih baik. Jika tidak terima dengan perbuatan suaminya tersebut, istri bersangkutan dapat mengajukan gugatan cerai di Pengadilan Agama tempat istri bertempat tinggal. Perjanjian antara suami istri dalam bentuk “sighot taklik” tersebut menjadi undang-undang bagi mereka berdua.

Sumber:

Al Quran
Al Hadits
Kompilasi Hukum Islam
Sighot Taklik dalam Buku Nikah
 

Sabtu, 20 April 2013

Harta Bersama (Gono Gini)

HARTA BERSAMA (GONO GINI)

 
Harta bersama atau lebih dikenal dengan sebutan harta gono gini adalah harta benda yang diperoleh selama perkawinan berlangsung sebagaimana maksud Pasal 35 ayat (1) dalam UU No. 1 Tentang Perkawinan.

Harta kekayaan dalam perkawinan atau Syirkah adalah harta yang diperoleh baik sendiri-sendiri atau bersama suami-isteri selama dalam ikatan perkawinan berlangsung selanjutnya disebut harta bersama, tanpa mempersoalkan terdaftar atas nama siapapun  [Kompilasi Hukum IslamBuku 1  Bab I Pasal 1 huruf (f)]

Harta bersama dalam perkawinan bisa berupa benda bergerak dan tidak bergerak, benda berwujud dan tidak berwujud, surat-surat berharga berupa saham, deposito-tabungan-investasi maupun hutang.

Harta bersama tidak berlaku jika ada perjanjian pranikah yang mengatur tentang pemisahan harta suami isteri.

Namun demikian bukanlah harta bersama jika harta diperoleh sebelum perkawinan (harta bawaan), hadiah atau warisan.

Ketentuan Harta Bersama diatur dalam UU No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan Pasal 35-37, KUHPdt dan Kompilasi Hukum Islam Pasal 85-97.

Bunyi Pasal 91 Kompilasi Hukum Islam:

(1) Harta bersama sebagaimana tersebut dalam pasal 85 di atas dapat berupa benda berwujud atau tidak berwujud.
(2) Harta bersaa yang berwujud dapat meliputi benda tidak bergerak, benda bergerak dan surat-suratberharga.
(3) Harta bersama yang tidak berwujug dapat berupa hak maupun kewajiban.
(4) Harta bersama dapat dijadikan sebagai barang jaminan oleh salah satu pihak atas persetujuan pihak lainnya.

Selengkapnya bisa dibaca di:

KUHPerdata
UU No. 1 Tahun 1974
Kompilasi Hukum Islam

Kamis, 18 April 2013

PIDANA DITANGGUHKAN MENUNGGU PUTUSAN PERDATA



PIDANA DITANGGUHKAN
JIKA TERGANTUNG PADA SENGKETA PERDATA


Bila laporan atau proses pidana tergantung dari proses perdata yang sedang bergulir di Pengadilan maka proses pidana harus menunggu putusan sengketa perdata tersebut. Misal mengenai sengketa harta waris, tiba-tiba ada laporan tentang penggelapan harta waris padahal harta tersebut bukan/belum harta waris maka proses pidana harus ditangguhkan dahulu hingga ada Putusan tentang kepastian “Harta Waris” atau bukan.

Jika yang dijual terbukti harta waris maka bisa dikenakan Pasal penggelapan, namun jika terbukti bukan harta waris maka proses pidana harus dihentikan denga SP-3. 

Hal ini sesuai dengan Yurisprudensi Mahkamah Agung dan Surat Edaran Mahkamah Agung tertanggal 26 Agustus 1957 yang dalam Pasal 1 berbunyi : Apabila dalam pemeriksaan perkara pidana harus diputuskan adanya suatu hal perdata atas suatu barang atau tentang suatu hubungan hukum antara pihak tertentu, maka pemeriksaan perkara pidana dapat dipertangguhkan untuk menunggu suatu putusan pengadilan dalam pemeriksaan perdata tentang adanya atau tidak adanya perdata itu.